Selain
itu, lanjut Natabaya, rumusan Pasal 49 ayat (1) telah mempersempit
makna filosofis Pasal 31 ayat (4) UUD'45, yang seharusnya tidak boleh
dilakukan. Mengingat UUD'45 merupakan norma tertinggi bagi bangsa dan
negara, ujarnya.
Sekedar mengingatkan, Pasal 31 ayat (4) itu menyatakan Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan
dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan
nasional.
Tanpa
meragukan maksud baik pembentuk UU yang berniat mendorong peningkatan
anggaran pendidikan. Namun, maksud tersebut seharusnya tidak dirumuskan
dalam rumusan kaidah yang justru memuat penafsiran yang mengandung
pengingkaran terhadap hakikat pendidikan karena dikeluarkannya salah
satu komponen utama pendidikan yakni pendidik, jelas Natabaya.
Ketua
PB PGRI Aziz Husein merasa kecewa atas putusan Mahkamah. Masuknya gaji
pendidik ke dalam anggaran pendidikan, dikhawatirkan pemerintah tak akan
lagi terdesak untuk memikirkan pendidikan di Indonesia. Sebagai
gambaran, saat ini, anggaran pendidikan di luar gaji pendidik masih
berkisar 11,8%. Kslsu gaji pendidik atau guru dimasukkan berarti
anggaran pendidikan sudah mencapai 18%. Pemerintah tinggal menambah 2%
saja. Lalu bagaimana dengan sekolah yang rusak serta anak-anak yang
putus sekolah? tanyanya.
Ketua
Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) Prof. Sudiarto berpendapat
senada dengan Aziz. Sudiarto menilai tak adanya kemauan politik
pemerintah untuk melaksanakan ketentuan UUD'45 secara jujur. Dengan
putusan ini, kualitas pendidikan Indonesia akan tetap status quo,
ujarnya. Anak yang tak sekolah akan tetap tak sekolah. Dan sekolah yang
rusak akan tetap rusak, tambahnya.
Elsa
Syarif, selaku kuasa hukum pemohon, mengkritik cara berpikir seperti
itu. Mereka memikirkan komponen fisik seperti gedunng. Tapi, manusia
(pendidik,red) tak makan mereka tak pikirkan, ujarnya. Dalam kondisi
negara seperti ini, mana yang harus kita dahulukan, pilih fisik atau
manusianya, tegasnya.
Harapan
dua orang pemohon, Rahmatiah Abbas dan Badryah Rifai, yang berprofesi
sebagai pendidik memang dengan dimasukannya komponen gaji pendidik ke
dalam anggaran pendidikan akan menguntungkan pemohon. Kesejahteraan guru
akan naik, harapan mereka.
Sayangnya,
Hakim Konstitusi Mukhtie Fadjar tak melihat demikian. Menurutnya,
profesi guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah berlaku seperti
Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada umumnya. Gajinya diatur tersendiri dalam
Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (PGPS), tambahnya.
Putusan
ini pun akan semakin rancu bila dikaitkan dengan UU No 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen. Bila mengacu pada putusan itu, maka seluruh gaji
pendidik baik PNS maupun guru swasta akan ditanggung APBN atau APBD. UU
Guru dan Dosen menyatakan gaji pendidik dari lembaga pendidikan yang
didirikan oleh masyarakat dibayar oleh lembaga pendidikan yang
bersangkutan. Bukan dari APBN atau APBD, jelas Mukhtie.
Karenanya,
Mukhtie menilai tidak ada satu pun hak konstitusional pemohon yang
dilanggar. Ia pun seperti tak habis pikir dengan apa yang dilakukan oleh
dua pemohon yang berprofesi sebagai guru dan dosen. Entah bisikan apa
yang menggelitik telinga dua guru selaku pemohon, katanya.
Dissenting opinion yang emosional
Mukhtie bersama dengan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dan Harjono merupakan tiga hakim yang mengeluarkan dissenting opinion atau pendapat berbeda dalam putusan ini. Namun, dissenting opinion Mukhtie terasa lebih emosional. Kata pembukaan dissenting opinionnya pun tersirat kekecewaan mendalam terkait putusan ini.
Guru
yang tidak memihak nasib guru demikian kata pembukanya. Entah, apa yang
dimaksud oleh pria yang juga berprofesi sebagai dosen ini terkait
pernyataan tersebut. Apakah itu menggambarkan dirinya, yang tak setuju
dengan isi permohonan dua orang guru tersebut. Atau Mukhtie ingin
mengkritik koleganya di MK, yang mayoritas juga sebagai dosen, yang
telah memutus perkara yang sangat mengecewakan PGRI.
Apapun
maksudnya, tampaknya Mukhtie kecewa dengan putusan ini. Ia bahkan
secara tegas mengkritik pertimbangan hukum pendapat mayoritas hakim.
Majelis hakim konstitusi berpendapat
dengan dimasukan gaji pendidik ke dalam anggaran pendidikan, pemenuhan
alokasi minimal 20% dari APBN akan segera terpenuhi. Tak ada lagi
pelanggaran konstitusi oleh pemerintah dan DPR dalam menetapkan UU APBN.
Bahwa
pengabulan permohonan ini dengan dalih agar ketentuan Pasal 31 ayat (4)
UUD 1945 terpenuhi, sungguh suatu �penyesatan' konstitusional yang
menyesatkan, kritiknya. Maka, bersiaplah para pendidik untuk meneteskan
air mata dan lagu �himne guru' sekedar sebuah nyanyian yang mengharu
biru, ujarnya emosional.
Dua perspektif berbeda
Berdasarkan penelusuran
hukumonline,
peluang dikabulkannya permohonan ini memang cukup besar. Ketua MK Jimly
Asshiddiqie sempat mengeluarkan wacana seperti apa yang diajukan dalam
permohonan pemohon.
Kala itu,
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pemerintah baru akan mampu
memenuhi anggaran pendidikan 20% lima sampai enam tahun ke depan. Jimly
pun meminta pemerintah untuk mencari formula baru.
Formula
baru, yang dimaksud Jimly adalah dengan memasukan gaji pendidik dan
pendidikan kedinasan ke dalam anggaran pendidikan. Memang, saran Jimly
tersebut lebih kepada revisi UU Sisdiknas. Kesetiaan kepada kesepakatan
tertinggi jauh lebih penting daripada persoalaan angka, ucap Jimly yang
menggunakan perspektif hukum tata negara.
Sedangkan,
rekannya, Mukhtie jelas lebih mengedepankan kepentingan pendidikan.
Toh, selama ini yang melanggar konstitusi dengan menetapkan anggaran
pendidikan dibawah 20% adalah pemerintah dan DPR, bukan MK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar